Bagi para penikmat bola, kata "El Classico" tentu sudah tidak asing lagi di telinga mereka. kata yang selalu merujuk kepada rivalitas kedua klub besar, simbol persepakbolaan Spanyol, Real Madrid C.F dan F.C Barcelona. Rivalitas yang sangat besar, panas, penuh gengsi dan seringkali kontroversial. Memang jika ditelusuri dari sejarah panjang perkembangan sepak bola secara global maupun lokal di Spanyol, mulai dari era ke era, akan terasa wajar jika kedua klub ini memendam bara rivalitas yang sangat panas.
Jika ditinjau dari sejarah awalnya, terutama saat masih banyak pergolakan politik di Spanyol, kedua klub ini selalu terseret dengan masalah politik tersebut. Real Madrid yang merepresantasikan sisi Spanyol, penguasa, dan Barcelona sebagai sisi Catalan, sang oposisi. Ketika itu, masa-masa kediktaroran Franco (sekitar pertengahan abad 20) banyak terjadi gesekan-gesekan antara berbagai kelompok kepentingan dan sisi Catalan adalah oposisi bagi sisi Franco yang berbasis di Madrid. Selama kediktatoran Franco, sebagian besar warga Barcelona berada di oposisi yang kuat dengan rezim seperti fasis. Phil Ball, penulis Morbo: Sejarah Sepakbola Spanyol, menyebut El Clasico "berlaku ulangnya Perang Saudara Spanyol". Sebuah analogi yang serupa dibuat oleh penulis Amerika Robert Coover, yang menggambarkan pertandingan antara "archrivals" FC Barcelona dan Real Club Deportivo Español pada 1977 sebagai "lebih seperti pemeragaan dari Perang Saudara Spanyol dari acara atletik belaka." Di catalan sendiri, ada dua klub yang juga memiliki rivalitas atas faktor politik yaitu Barcelona dan Espanyol, namun dalam berbagai aspek, terlihat Barcelona berkembang lebih pesat. Rivalitas di ranah politik, dibawa ke lapangan hijau dan itu bukanlah hal yang baik untuk saat ini.
Rivalitas juga meular ke aspek pemain. Pemain yang awalnya bermain untuk salah satu klub lalu pindah ke klub lainnya, maka dia akan sangat dibenci oleh para supporter. Yang paling terkenal adalah Alfredo di Stefano dan Luis Figo. namun Alfredo di Stefano bisa membuktikan kapasitasnya di Real Madrid dan sukses di sana.
Hingga saat ini, partai "El Classico masih menjadi pertandingan yang sangat ditunggu-tunggu oleh para penggemar sepakbola di seluruh dunia. Pertandingan dengan tensi tinggi dan penuh bara dendam dari kedua kubu. Apalagi setelah kedua kubu mulai memasuki masa keemasannya lagi. Diawali dengan Barcelona dibawah kepemimpinan Pep Guardiola yang mengandalkan talenta tulen binaan akademi "La Masia". Lalu diikuti Real Madrid yang sedang mencoba membangun "Los Galacticos" jilid 2 dengan mendatangkan Cristiano Ronaldo, Ricardo Kaka, Mesut Ozil dan yang paling anyar Fabio Coentrao serta Nuri Sahin.
Kekuatan kedua kubu semakin kuat saat dilengkapi lebih dari setengah punggawa timnas Spanyol dengan Iker Casillas dan Xabi Alonso sebagai ikon di Madrid serta duet Xavi Hernandez-Andres Iniesta plus Cesc Fabregas yang menjadi roh permainan ala Barcelona.
Jika ditinjau dari sejarah awalnya, terutama saat masih banyak pergolakan politik di Spanyol, kedua klub ini selalu terseret dengan masalah politik tersebut. Real Madrid yang merepresantasikan sisi Spanyol, penguasa, dan Barcelona sebagai sisi Catalan, sang oposisi. Ketika itu, masa-masa kediktaroran Franco (sekitar pertengahan abad 20) banyak terjadi gesekan-gesekan antara berbagai kelompok kepentingan dan sisi Catalan adalah oposisi bagi sisi Franco yang berbasis di Madrid. Selama kediktatoran Franco, sebagian besar warga Barcelona berada di oposisi yang kuat dengan rezim seperti fasis. Phil Ball, penulis Morbo: Sejarah Sepakbola Spanyol, menyebut El Clasico "berlaku ulangnya Perang Saudara Spanyol". Sebuah analogi yang serupa dibuat oleh penulis Amerika Robert Coover, yang menggambarkan pertandingan antara "archrivals" FC Barcelona dan Real Club Deportivo Español pada 1977 sebagai "lebih seperti pemeragaan dari Perang Saudara Spanyol dari acara atletik belaka." Di catalan sendiri, ada dua klub yang juga memiliki rivalitas atas faktor politik yaitu Barcelona dan Espanyol, namun dalam berbagai aspek, terlihat Barcelona berkembang lebih pesat. Rivalitas di ranah politik, dibawa ke lapangan hijau dan itu bukanlah hal yang baik untuk saat ini.
Rivalitas juga meular ke aspek pemain. Pemain yang awalnya bermain untuk salah satu klub lalu pindah ke klub lainnya, maka dia akan sangat dibenci oleh para supporter. Yang paling terkenal adalah Alfredo di Stefano dan Luis Figo. namun Alfredo di Stefano bisa membuktikan kapasitasnya di Real Madrid dan sukses di sana.
Hingga saat ini, partai "El Classico masih menjadi pertandingan yang sangat ditunggu-tunggu oleh para penggemar sepakbola di seluruh dunia. Pertandingan dengan tensi tinggi dan penuh bara dendam dari kedua kubu. Apalagi setelah kedua kubu mulai memasuki masa keemasannya lagi. Diawali dengan Barcelona dibawah kepemimpinan Pep Guardiola yang mengandalkan talenta tulen binaan akademi "La Masia". Lalu diikuti Real Madrid yang sedang mencoba membangun "Los Galacticos" jilid 2 dengan mendatangkan Cristiano Ronaldo, Ricardo Kaka, Mesut Ozil dan yang paling anyar Fabio Coentrao serta Nuri Sahin.
Kekuatan kedua kubu semakin kuat saat dilengkapi lebih dari setengah punggawa timnas Spanyol dengan Iker Casillas dan Xabi Alonso sebagai ikon di Madrid serta duet Xavi Hernandez-Andres Iniesta plus Cesc Fabregas yang menjadi roh permainan ala Barcelona.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar